Oleh Nelly Martin
“Aku tidak bisa memberi harapan, aku hanya bisa menjanjikan kebersamaan kita.” Dan memang hanya itulah yang diberikan oleh Isal, laki-laki asal Sumatra selama beberapa bulan ini menemani hari-harinya. Lulu ingin protes dengan sejuta pertanyaan berkecamuk di kepalanya. Dia ingin teriak, tapi diam akhirnya selalu menjadi pilihannya. Lulu pun mengangguk, dan menerima dengan pasrah kecupan di dahinya. Pun, dia menikmatinya, seperti dia menikmati setiap detik kebersamaannya dengan Isal.
Isal, laki-laki yang berumur enam tahun lebih tua darinya ini, sudah mengenggam hatinya sejak pertemuan pertama mereka di acara Permias Hawaii di Hale Halawai, sebuah gedung yang diperuntukkan untuk pertemuan dan acara-acara kultural di University of Hawaii at Manoa. Dia tidak terlalu tampan, setidaknya tidak lebih tampan dari Mas Bayu, mantan tunangannya di Jakarta, tetapi ada yang menarik dari sosok atletisnya, pancaran mata dan gerak tubuhnya. Dia semampai dengan tinggi jauh diatas rata-rata lelaki Indonesia , sekitar 1.80 meter. Raut wajahnya tegas dengan rahang yang kuat, perpaduan wajah Melayu dan Jawa. Tutur katanya halus dengan untaian kata yang terangkai cerdas. Tidak mengherankan, jika dia didaulat sebagai ketua Permias periode 2002-2003. Sejak pertemuan pertama mereka itulah, ada yang lain di hati Lulu. Darahnya seperti mengalir ke seluruh ubun-ubunnya, jantungnya berpacu dengan cepat apabila mereka berpapasan di dapur lantai 3. Mereka memang tinggal di lantai co-ed dan berada di unit dapur yang sama. Hampir sebulan, Lulu pun hafal jadwal memasak Isal, awalnya tidak sengaja mereka bertemu, tetapi di minggu-minggu kedua dan ketiga, pertemuan mereka adalah sebuah pertemuan yang sepertinya direncanakan baik oleh Lulu maupun oleh Isal. Entah siapa yang memulai, hingga akhirnya mereka dekat.
“Lu, what are you cooking?” sapa Xie, teman unit dapurnya yang berasal dari China.
“I’m cooking fried rice with shrimp. Wanna try?" sambutnya ramah.
“Oh no. If I try, I’m afraid there’ll be nothing for Isal,” Xie menggodanya.
Lulu pun tersenyum. Sepertinya semua penghuni di unit ini sudah mengetahui “pertemanan”nya dengan Isal. Sudah tidak ada gunanya menutup-nutupinya.
“Bang, makan dulu yuk,” Lulu mengetuk pintu kamar 306, kamar Isal.
Agak lama, Isal baru membuka pintunya. Rambutnya agak acak-acakan.
“Abang kenapa? Sakit?”
Khawatir Lulu memegang dahi Isal.
“Tidak apa, Sayang. Hanya capek. Tadi malam begadang Paper, buat kelas Dr. Andano”.
Diciumnya pipi Lulu.
“Yuk kita makan,” digamitnya pergelangan tangan Lulu.
Mereka berdua pun menuju meja makan yang menghadap Diamond head, sebuah bukit yang merupakan salah satu gugusan Volcano di Hawaii. Nasi goreng yang hampir tiap hari mereka cicipi pun terasa begitu nikmat. Mungkin karena dinikmati berdua, sehingga rasanya berbeda di tiap harinya.
“Kamu makin pintar nih masaknya,” puji Isal, berkali-kali.
“Ah, gombal deh.” Tak urung senyum tersipu-sipu Lulu tersembul juga.
“Iya bener. Kamu tahu seleraku.” Isal menjawil hidung Lulu. Sayang.
Dan makan siang hari itu lagi-lagi mendekatkan mereka berdua. Lulu benar-benar menikmati setiap kebersamaan mereka. Buat dia, Isal adalah sosok lelaki sempurna. Tiada cela dari lelaki ini yang bisa ia deteksi dengan mudahnya. Hal yang biasa ia lakukan terhadap pacar-pacar terdahulunya. Dengan Isal, ia mengagumi semua yang ada di diri laki-laki ini. Dia suka cara bicaranya, cara senyumnya, cara tidurnya yang agak aneh pun dia nikmati. Ya, dia telah jatuh cinta.
“Kok melamun Loli?” itu panggilan sayang Isal buatnya. Isal bilang dia seperti lollipop, manis.
“Gak pa-pa” Lulu menunduk. Duh, lagi-lagi dia tertangkap basah sedang melamun. Ini sudah kali sekian Isal mendapatinya termenung.
“Benar tidak ada apa-apa, Loli?” Isal mengenggam tangannya. Hangat, itulah yang dirasakan Lulu, hangat yang mengaliri seluruh tubuhnya. Bukan kali pertama Isal mengenggam tangannya, tapi desiran halus itu masih saja dirasakannya.
Lulu lagi-lagi diam, dia tidak ingin Isal tahu bahwa dia sudah jatuh cinta. Isal tidak perlu dan tidak boleh mendengarnya, meskipun sikapnya pasti sudah menjelaskannya. Bukan karena Lulu pemalu, tetapi Isal tidak pernah mendeklarasikan cinta mereka. Isal tidak pernah sekalipun mengobral kata cintanya. Semua terjelaskan melalui belaian dan kecupan-kecupan yang setiap hari Lulu terima. Dan Lulu pun tidak pernah menggugat ataupun bertanya, karena berdekatan dengan Isal sudah cukup baginya.
“Loli, kamu datang kan ke acara Permias nanti malam di lounge lantai 6?” Isal membuyarkan lamunannya.
“Acara apa, Bang?”
“Potluck aja, biasa. Masa kamu gak baca di milis Permias?” Isal mempermainkan rambut Lulu.
“Ndak. Abis banyak banget emailnya dalam sehari, jadi aku malas baca, hehehe”
“Jam 7 ya. Jangan lupa. Aku harus ke Hamilton. Mau ambil dan kembalikan buku.” Isal beranjak dari kursinya dan membawa piring dan gelasnya ke sink.
“Ndak apa, Bang. Biar aku yang cuci,” sergah Lulu.
“Kamukan sudah masak, Loli. Biar aku yang cuci.” Isal tersenyum sambil tangannya terus mencuci piring-piring dan peralatan memasak yang kotor.
Lulu tersenyum, memang hal ini lazim dilakukan oleh mahasiswa di sini, tidak perduli perempuan atau laki-laki, tugas mereka sama. Kalau yang lain memasak, yang satunya mencuci piring. Sebuah hal yang agak kurang lazim sebenarnya bagi masyarakat Indonesia yang kebanyakan menganut sistem patriakal.
“Loli, aku pergi, ya,” Isal melenggang meninggalkan dapur.
Tidak sempat Lulu mengucapkan selamat tinggal, Isal sudah hilang di balik pintu.
Lulu pun beranjak meninggalkan dapur, menuruni tangga menuju kamarnya.
Masih ada tiga jam lagi sebelum Potluck. Lulu pun membuka bukunya dan mencoba fokus pada papernya.
Kalau bukan karena Isal, dia sudah malas ikutan acara Permias. Dia tahu semua membicarakan hubungannya dengan Isal. Kalau saja mereka tahu, Lulu pun masih punya banyak pertanyaan tentang Isal, tentang dirinya, keluarganya, asal usulnya, tapi semua akan tersimpan rapat oleh Isal. Dan hampir semua orang tidak ada yang terlalu tahu mengenai latar belakang Isal, kecuali asal daerah dan apa bidang studi yang sedang diambilnya. Selebihnya, Isal bagaikan misteri. Ia bisa dengan lugas berbicara mengenai peta perpolitikan Indonesia dan dunia, tapi jangan harap sepatah katapun jika sudah berhubungan dengan urusan pribadinya. Dan Lulu tidak sanggup bertanya padanya. Setiap didekatnya, hatinya begitu lemah.
Semua itu terus menerus memenuhi otaknya. Berjejal pertanyaan itu akhirnya memaksanya menghentikan bacaannya. Ditutupnya bukunya, percuma dia terus memaksa, dia sudah tidak konsentrasi.
Direbahkannya badannya. Lelah, bukan hanya fisiknya, tetapi juga pikirannya. Hampir satu jam, Lulu tertidur.
Knock, knock. Pintu kamarnya diketuk.
Dibukanya matanya, dibereskan rambutnya sebentar. Lalu dibukanya pintu.
“Hi Lulu, were you sleeping? Sorry to disturb you.” Itu suara Sieu, teman satu lantainya yang berasal dari Vietnam.
“That’s okay. What’s up?”
“Lulu, may I borrow your pan? I need to cook my dinner, but it seems that somebody is using mine now. I remember I put it in my drawer.” Wajah Sieu nampak bingung.
“Somebody stole it, you mean?”
“I don’t know.” Sieu agak ragu.
Ah, gadis Vietnam ini memang terkenal lugu dan baik hati. Mungkin karena itulah dia sering menjadi incaran para pencuri makanan yang berkeliaran di lantai ini. Bulan ini, dia sudah kehilangan beberapa bahan makanannya, seperti beras, mie, daging. Tidak hanya itu, kadang mereka juga “meminjam” alat-alat masaknya, yang dikembalikan dalam keadaan kotor atau malah hilang sama sekali.
Pihak asrama bukannya tidak tahu akan kejadian ini, tetapi mereka sepertinya tidak bisa berbuat apa-apa. Usul mahasisa untuk memasang kamera surveilance di setiap sudut dapur, ditolak dengan alasan biaya.
“Of course, Sieu. Just don’t forget to clean it and put it back in my drawer.”
“Thank you, Lulu. You’re so nice,” berbinar mata Sieu dan dia pun berlalu meninggalkannya.
Lulu hanya tersenyum tipis. Siapa yang bisa menolak gadis sebaik dan selugu Siue.
Ditutupnya pintu, dan ia pun bersiap untuk membaca kembali.
Belum sempat ia membuka pintu, pintu kamarnya sudah diketuk kembali.
“Yes, Sieu?” Ujarnya sambil membuka pintu.
“Sieu siapa, Loli?” Itu suara Isal.
“Ah, Abang aku pikir Sieu, si anak Vietnam itu. Tadi dia kesini.”
“Oh. Loli, jangan lupa ya. Satu jam lagi kamu siap-siap. Kamu bantu aku membereskan lounge untuk acara nanti.”
“Aku belum masak, Bang.” Lulu mencoba membuat alasan.
Isal tersenyum tipis. “Tidak apa. Aku sudah memasak tadi. Rasanya itu cukup buat dibawa oleh dua orang, juga aku tadi aku ke Safeway membeli dua dus orange juice dan sekerat coke”
Agak ragu Lulu pun mengangguk. Mana bisa ia menolak permintaan laki-laki ini. Laki-laki yang menjadi bunga mimpinya selama beberapa bulan belakangan ini.
“Jangan lupa ya, Loli sayang. Satu jam lagi kamu siap-siap, ya.” Isal berlalu meninggalkan kamarnya, sambil sebelumnya mengecup keningnya.
Ada yang bergetar di hati Lulu. Untuk kesekian kalinya, pesona Isal membelenggunya.
***
“Wah Lulu datang cepat nih. Tumben.” Dia disambut oleh Sani, mahasiswa Ph. D yang sedang meneliti Sejarah Islam di Asia Tenggara.
Lulu hanya tersenyum tipis menanggapi becandaan Sani yang menurutnya tidak lucu. Baru ada empat orang yang datang, termasuk dirinya. Isal hanya memandangnya dari jauh, dia sibuk dengan kursi-kursi dan meja-meja. Didekatinya Teh Nisa, teteh ini baik hati sekali. Dia sedang menemani suaminya yang sedang mengambil Ph.D.
“Eh, Lulu, kok sudah datang?”
“Iya, Teh. Mau bantu-bantu”
“Oh gitu? Beresin makanan aja yuk di meja. Ini udah ada yang datang menaruh makanan, tapi balik lagi ke kamarnya. Mungkin pas acara aja datangnya.”
Teh Nisa pun menggamit tangannya. Berdua mereka menata beberapa makanan di atas meja. Dan dalam waktu kurang lebih 20 menit, nasi, sayur asam, telur dadar, ayam goreng dan beberapa minuman pun sudah tertata rapih di atas meja. Masih banyak ruang untuk makanan yang akan datang nantinya.
“Sudah selesai. Jam berapa sekarang, Lu?”
“Jam 7, Teh.”
“Wah sebentar lagi, teman-teman pasti datang, nih. Yuk, duduk dulu.”
Lulu dan Teh Nisa pun beranjak duduk. Isal sesekali mencuri pandang pada Lulu. Dan, desiran di dada Lulu pun tidak berhenti semenjak ia datang ke lounge ini. Mereka menikmati cinta dalam diam ini. Tanpa perlu mendekat hati mereka berbicara.
“Lu, kamu tau gak kalau temanmu kecurian lagi?” itu suara Sani.
“Iya.” Lulu pun mengangguk.
“Kasian ya. Sepertinya dia menjadi incaran para pencuri itu.” Sani melanjutkan.
“Lho, emangnya lebih dari satu ya?” Teh Nisa menimpali.
“Kayanya iya, Teh. Kalau gak, susah juga. Pasti ada satu yang mencuri, dan yang lainnya menjaga keadaan.” Sani mulai menganalisis.
Teh Nisa dan Lulu pun tertawa mendengarnya. Sebelum Sani mulai lagi dengan analisisnya, teman-teman PERMIAS pun sudah mulai berdatangan.
“Halo semuanya. Waah udah mulai rame ya.” Mas Andi, dari Sulawesi.
“Halo Mas Andi, apakabar nih,? sapa Sani.
Dan 10 menit kemudian, lounge lantai 6 itupun sudah dipenuhi oleh suara tertawa, nyanyian anak-anak PERMIAS. Ramai sekali. Ya, begitulah kalau komunitas Indonesia sudah berkumpul. Seperti di pasar Induk saja ramainya.
“Lulu, ayo Lu, nyanyi.” Mas Akmal merayunya untuk bernyanyi, sambil memetik gitarnya. Mas Akmal ini memang terkenal jago memetik gitar. Seorang mahasiswa yang sedang mengambil master’s di bidang music ethnography. Keturunan Aceh asli.
“Lagu apa, Mas?”
“Terserah kamu. Kamu maunya apa?”
“Ehm, the Power of Love-nya, Celline Dion, bisa, Mas?”
“Bisa. Yuk, coba dulu.”
Lalu, Lulu pun beringsut mendekati Mas Akmal, Isal mengikuti dengan matanya, sambil terus bercengkrama dengan Mas Ikbal, Mas Khalid dan Mbak Ira.
Dan, saat Lulu mulai benyanyi, semua terdiam dan suasana menjadi hening. Suara Lulu mampu menyihir semua warga Permias yang hadir saat itu. Tidak hanya suaranya merdu tetapi juga karena dia bernyanyi dari hatinya.
Tentu saja Lulu bernyanyi sepenuh jiwanya, lagu itu ia persembahkan seluruhnya untuk lelaki berbadan tegap yang sedang memandangnya dari jarak empat meter di depannya.
Selama dua puluh menit, semua yang hadir di potluck itu tersihir oleh suara Lulu. Saat Lulu selesai, tepuk tangan pun bergemuruh.
“Wah, Lulu. Bagus banget sih suaranya?”
“Ya, terang aja, Lulu kan salah satu penyanyi andalan di gerejanya,” ujar Sani lantang.
“Wah pantes, Lu. Suara kamu bagus sekali.”
Dan malam itu, Lulu menjadi bintang. Lagi-lagi, Isal hanya bisa memandangnya dari jauh. Entah mengapa malam itu dia hanya mengamati Lulu dari jauh, tidak seperti biasanya, mereka pasti akan duduk bersisian dan tertawa bersama.
Malam ini ada yang berbeda, setidaknya itu yang Lulu rasakan.
Acara berakhir jam 11 malam. Semua piring-piring, gelas plastik sudah dibereskan. Beberapa makanan yang tersisa sudah dibungkus ke dalam beberapa ziploc oleh para mahasiswa yang kelaparan. Momen ini selalu baik untuk perbaikan gizi mahasiswa, yang entah karena alasan kesibukan atau keuangan kadang malas memasak.
Di setiap harinya, Indomie pun biasa jadi stock andalan yang selalu menyelamatkan jiwa mahasiswa ini. Tetapi jika akhir minggu tiba, tidak hanya mahasiswi para mahasiswa pun memasak makanan terenak. Itulah refreshing bagi mereka. Karena hanya akhir Minggulah mereka mempunyai kesempatan untuk memasak.
“Yuk, semuanya. Balik duluan, ya,” pamit Lulu pada beberapa teman yang masih tersisa.
Lulu pun kembali ke kamarnya. Senang, sedih dan kecewa bercampur aduk. Dia menikmati kebersamaan malam ini, tetapi dia kecewa karena Isal sepertinya menjauhinya. Melangkah gontai, dia telah sampai ke kamarnya.
Baru sepuluh menit dia merebahkan dirinya. Pintu kamarnya sudah diketuk. Agak enggan, tapi hatinya berharap itu adalah Isal.
“Yes, wait a sec.”
Dirapihkannya rambutnya sebelum membuka pintu. Hatinya berdebar-debar yang nampak terpancar dari binar matanya. Bayangan Isal yang akan datang membuatnya seperti lompat dari kasurnya. Tidak sabar ia buka pintu kamarnya.
Sedetik kemudian senyum itu hilang.
“Hai Lu, lagi apa? Sibuk?” itu suara Sani.
“Iya, udah mau siap-siap tidur. Ada apa, Mas Sani?” Agak enggan Lulu membalas pertanyaan yang dianggapnya tidak penting itu.
“Ada yang mau saya bicarakan Lulu. Penting.” Sani agak mendesaknya.
Lulu menguap, dia tidak berpura-pura. Dia lelah, dan ingin segera merebahkan diri.
“Aduh Mas, sudah tengah malam. Apa tidak bisa besok saja?”
“Ini benar-benar penting. Menyangkut masa depanmu.” Sani tidak berhenti mendesaknya.
“Kalaupun dipaksakan sekarang, aku gak bisa nyimak, Mas.”
“Ya, sudah. Besok pagi ya?”
“Besok pagi aku kuliah dari jam 9 sampai jam 1 siang. Jam 2 sampai jam 5 ada kuliah lagi di gedung Webster.”
“Jam 1-2 kosong tho?. Kita bisa sambil makan siang.”
“Nanti liat deh, Mas. Aku gak tahu sempat makan siang atau tidak.” Lulu mencoba berkelit.
“Mau makan sama Kang Masnya, ya?” goda Sani, yang terdengar begitu cheesy di telinga Lulu.
Lulu hanya diam, tidak menanggapi.
“Sampai besok ya, Mas.” Tidak ditunggunya Sani berlalu dari hadapannya, dia pun menutup pintunya.
Sepertinya hampir semua orang di asrama ini atau mungkin se kampus ini, yang mengenal dia dan Isal, sudah tahu kebersamaan mereka. Apa sih yang mereka permasalahkan? Masalah agama? Karena kami berbeda keyakinan? Ah, tapi kan kami bukan mau menikah? Tidak bolehkah kami menghabiskan waktu bersama? Apakah memang dilarang pertemanan beda agama?
Semua pertanyaan itu memenuhi otak dan pikiran Lulu sampai akhirnya dia terlelap.
Esok paginya, saat sarapan, dia tidak juga bertemu Isal. Entah kemana dia. Lulu cemas. Sambil mengunyah rotinya, pikirannya melayang kemana-mana.
“Pagi, Lulu,” sapa Uni Dina, temannya asal Bukit Tinggi, yang sedang kuliah mengambil jurusan Second Language Studies.
“Pagi, Uni. Udah sarapan?” Lulu agak terkejut.
“Belum. Ini baru mau. Boleh duduk di sini?”
“Silakan, Uni.”
Entah siapa yang memulai, tahu-tahu topik pembicaraan mereka sudah berkisar tentang Isal.
“Mungkin itu masalahnya Lu, Isal sedang bingung. Karena kalian kan berbeda keyakinan. Agak sulit buat dia.”
“Aku ngerti, Uni. Tapi kan kita bukan mau menikah besok. Lagipula, aku pikir Bang Isal tidak sepicik itulah. Dia sudah jauh-jauh sekolah ke Amerika. Tapi masih berpikir tentang perbedaan keyakinan,” Lulu mencoba berargumen.
“Ehm, Lu, yang aku tahu Isal itu dari keluarga Melayu yang masih memegang teguh agamanya. Mungkin di sini dia sudah lebih toleran, tetapi kalau kembali ke Indonesia, ke keluarganya, apa kamu yakin dia sanggup melawan keluarganya?"
Lulu pun terdiam. Tak sanggup berbicara apa-apa. Omongan Uni Dina ada benarnya. Tapi ia lelah, isu keyakinan sudah membuatnya muak, karena ini bukan yang pertama kali buatnya. Puluhan tahun lalu, cinta pertamanya kandas karena masalah ini. Lalu, apa tadi, Isal memegang teguh agamanya? Lulu mencibir, siapa yang mengajaknya pertama kali bercinta di pertemuan ketiga mereka. Lulu jatuh cinta, maka Isal adalah yang pertama baginya.
“Uni, aku duluan. Aku ada kuliah pagi ini.” Lulu pun melangkah menuju kamarnya. Tidak dihiraukannya Dina yang masih ingin bercakap-cakap dengannya.
Dan hari itu terasa panjang bagi Lulu. Kuliah sejak pagi hingga sore sudah cukup membuatnya lelah, belum lagi masalah Isal. Janji dengan Sani dengan sengaja dilupakannya, dan untuk itu ia sengaja memutar jalan melalui Perpustakaan Hamilton, berlawanan arah dengan tempat kuliah Sani di Kuykendall. Dan sehari ini, dia belum lagi bertemu dangan Isal. Ada yang terasa sakit di dadanya. Rindunya pada Isal tidak terkira. Tapi untuk datang ke kamar Isal, ia enggan. Dia risih karena Isal tinggal di double room. Buthin, teman sekamarnya yang berasal dari Mongolia, pasti sudah capek menerima kehadirannya. Dia juga perlu istirahat dan belajar. Tidak enak rasanya kalau Lulu harus berkali-kali menganggunya.
Penat, Lulu tidak berniat untuk jalan-jalan senja ini. Padahal Manoa setelah hujan, indah sekali. Dengan pelanginya yang memanyungi bukit Manoa, kota ini cantik sekali. Lulu hanya menikmati indahnya dari balik jendelanya. Sambil menikmati rintik hujan yang masih turun satu-satu.
Hampir sejam Lulu tidak bergerak dari posisinya. Dibiarkannya pikirannya melayang. Merenungi perasaannya terhadap Isal. Dia tidak menyesal telah menyerahkan yang paling dijaganya terhadap lelaki itu. Dia jatuh cinta di pandangan pertama. Jatuh cinta pada suaranya, pada senyumnya, pada kokoh tubuhnya, kecerdasannya, tutur katanya, semuanya. Semua yang ada pada diri Isal mampu meluluhlantakan hatinya. Hilang sudah Lulu yang biasanya tak gentar melawan laki-laki. Hilang sudah Lulu yang biasanya tidak menghiraukan apapun bentuk rayuan laki-laki. Isal sudah mengubahnya menjadi Lulu yang lain.
Lagi-lagi pintu kamarnya diketuk. Lulu hanya berharap itu bukan Sani. Walaupun hatinya selalu berharap bahwa itu adalah Isal, tetapi untuk saat ini rasanya Isal tidak mungkin mendatanginya. Ia dapat merasakan Isal saat ini sedang menjauhinya. Dengan enggan, dibukanya pintu kamarnya. Matanya yang sayu, mendadak berbinar karenanya.
“Bang...” bisiknya lirih.
“Iya, Loli. Loli, apapun yang kamu dengar dari orang, percaya kataku saja ya. Jika aku bilang tidak, maka itu artinya tidak. Apapun itu Loli. Kamu cukup percaya aku saja.” Isal pun merengkuhnya. Ada kehangatan di sana. Kehangatan yang ia rindui, meski hanya satu hari saja tanpanya.
Lulu belum sempat menjawab, bibir Isal sudah lebih dulu menyapu bibirnya. Dan hari yang hampir malam itu pun berlalu dengan indahnya bagi mereka berdua. Melodi cinta alam surga lagi-lagi mereka nikmati. Untuk kesekian kalinya, Isal membuatnya menjadi wanita paling bahagia.
Sejak hari itu, Isal tiada pernah meninggalkan Lulu. Meski hanya sehari. Omongan pedas dari rekan-rekan Permias mereka anggap angin lalu. Sindiran bahkan ucapan langsung untuk meninggalkan satu sama lain tidak pernah mereka hiraukan. Bahkan ucapan sesepuh Permias yang secara tidak langsung meminta mereka untuk tidak berhubungan lagi, tidak pernah sekalipun menyurutkan keinginan mereka untuk terus bersama.
Berenang, berjemur atau sekedar berjalan bersama di Pantai Waikiki, atau Ala Moana adalah waktu luang yang mereka jalani hampir di setiap akhir minggu. Menghabiskan waktu di Dole Plantation pun menjadi kegiatan yang menyenangkan bagi Lulu. Menonton filem-filem terbaru di Dole Movie adalah kebiasaan yang mereka jalani hampir setiap pulang kuliah. Mereka tidak lagi rikuh mempertontonkan kemesraan mereka di tengah khalayak Permias. Lulu sudah menutup rapat-rapat telinganya. Baginya yang patut ia dengar adalah ucapan Isal. Mengenai masalah diantara mereka, Isal tidak pernah sekalipun membahasnya, dan itu cukup bagi Lulu.
Berkali-kali Uni Dina, Teh Nisa ataupun Sani ingin berbicara dengannya, tapi dengan sigap Isal selalu datang dan Lulu tidak pernah sekalipun punya kesempatan mendengar apa yang ingin mereka katakan. Hanya sesekali saja Lulu agak risau memikirkan apa yang hendak mereka katakan, selebihnya? Angannya terlalu sibuk terbuai dengan romantisme yang Isal ciptakan. Tugas-tugas kuliah yang menumpuk pun membuatnya tidak lagi memikirkan hal itu, hidupnya hanya dua: Isal dan kuliah, selebihnya dia tidak perduli.
Lebih dari sepuluh bulan sudah kebersamaan mereka. Seluruh penghuni Hale Manoa dari lantai 1 sampai lantai 12 tahu akan hubungan mereka. Dari mulai bisik-bisik sampai ucapan selamat atas hubungan mereka sudah didengarnya. Hanya kata-kata cinta yang belum pernah terucap dari Isal, tidak sepatah katapun. Lulu menunggu, bahkan hingga hari terakhir Isal di Honolulu ini, saat Isal sudah harus pergi meninggalkannya. Program studinya selama dua tahun sudah selesai dan dia harus kembali ke tanah air. Pesta-pesta perpisahan pun telah selesai Isal hadiri. Kini saatnya untuk meninggalkan Manoa, dan Honolulu, kota yang selama dua tahun telah menemani hari-harinya.
“Abang, aku bantu packing barang-barangnya, ya, Bang.”
Dan hari terakhir pun mereka lalui bersama.
Saat keesokan harinya Isal harus pergi, tiada air mata yang mampu keluar dari kelopak mata Lulu. Dia seperti tercekat. Dia tidak ingin hidup di hari itu, di hari ia harus melihat Isal untuk terakhir kalinya. Isal pun tidak banyak bicara hari itu. Hanya mata dan hati mereka yang mengungkapkan segalanya. Lulu tahu, inilah akhir dari cerita ini. Sebuah perjalanan hati yang ia kira akan berakhir, setidaknya, lebih bahagia dari ini.
Dua minggu sudah ia lalui, tanpa Isal. Manoa dan Honolulu mati bagi Lulu. Ia tidak lagi menawarkan keindahan. Waikiki dan Ala Moana ternyata tidak seindah jika ia bersama Isal. Kegiatan Minggu pagi di Dole Plantation pun kembali menjadi kegiatan yang membosankan. Nyawa Lulu hilang bersama pesawat yang membawa Isal ke Narita kemudian ke Jakarta.
Isal pun sepertinya menghilang, tiada kabar yang ia kirimkan kepada Lulu. Tidak sms, tidak juga email.
Di dapur, Lulu tiada lagi tersenyum. Ia hanya makan sekedarnya. Tidak lagi berlama-lama di dapur. Ini pun kali kedua sejak seminggu ia tidak ke dapur. Ia menghindari tempat-tempat yang akan membuatnya teringat akan Isal.
“Lulu, aku mendapat email dari Indonesia. Ehm, apa kamu mau aku kirim ke kamu?” Uni Dina menghampirinya.
“Maksudnya, Uni?”
“Ehm, seseorang yang ingin mengirim kabar itu hanya tahu email Uni, tapi dia ingin mengirimkannya kepada Lulu,” terbata-bata Uni Dina menjelaskannya.
Agak ganjil, tapi Lulu mengangguk.
Siang itu, saat kuliah Language Acquisition, ia gelisah. Penjelasan Dr. Donald sama sekali tidak sempat mampir ke otaknya. Ia sungguh cemas memikirkan email itu. Ingin sekali ia menyudahi mata kuliah ini. Diliriknya jamnya, masih tersisa dua puluh menit lagi. Setiap detiknya adalah siksa baginya, bukan karena ia tidak suka mata kuliah ini. Tetapi pikirannya benar-benar tersita untuk email itu. Dia merutuki berkali-kali keputusannya untuk tidak membawa laptopnya, harusnya ia bisa dengan segera mengecek emailnya. Kenapa tadi ia harus terburu-buru? Atau malah kenapa ia memutuskan untuk masuk kuliah hari ini? Semua pikiran itu berkecamuk dan tidak terasa dua puluh menit pun berlalu.
Cepat-cepat dibereskannya buku-bukunya. Ia pun secepat kilat berlari menuju Hale Manoa, ruang 303. Dilaluinya kubangan air di depan Gedung Hale Kuahine, terengah-engah ia lewati Gedung Conference center dan Kennedy Theater. Ia ingin cepat berada di kamarnya dan segera membuka emailnya.
Terburu-buru, dipencetnya tombol menuju lantai 3. Dan lift itupun berjalan amat lambat bagi Lulu. Tidak dihiraukannya sapaan Sieu. Yang ada dipikirannya hanya membuka email itu. Email yang mungkin akan membawanya menuju kebahagiaan. Email yang mungkin memberinya sedikit harapan.
Pintu lift terbuka, Sinta berlari menuruni anak tangga menuju kamarnya. Dibukanya pintu kamarnya. Semuanya tergesa-gesa. Segera ditekan tombol on pada laptopnya. Dia bahkan tidak sempat membuka sepatu yang lumayan basah akibat menginjak kubangan tadi. Tidak pula ia sempat menaruh tas yang menyelimpang di tubuhnya. Segera ia memasukan id dan passwordnya. Hatinya semakin berharap, semakin cemas, semakin penuh tanda tanya.
Segera dibukanya email dari Uni Dina dan dibacanya baris per baris email itu.
Kepada Yth. Saudari Lulu,
Sebelumnya maafkan kelancangan saya mengirimkan email ini melalui Dina. Saya hanya tahu email Dina dan beberapa teman beasiswa Chevron. Maafkan juga kelancangan saya telah mengirimkan email ini kepada Dek Lulu.
Perkenalkan, saya Wita Ichsan Siregar. Saya adalah seorang Ibu dari dua anak yang bernama Tirta Mandala Nugraha dan Mega Titian Nugraha . Saya rasa Anda mengenali nama belakang mereka, ya benar mereka adalah buah hati dari Salfani Fattah Nugraha.
Dek Lulu yang saya hormati,
Sejak setahun keberangkatannya ke Honolulu untuk menempuh pendidikannya, Abang masih tetap seorang yang mengasihi keluarganya. Dia masih seseorang yang hangat. Saya pun sampai saat itu masih merasakan kasih sayangnya, meski jauh. Namun semua itu berubah di awal tahun kedua. Abang yang biasanya hampir setiap malam menelpon, menjadi hanya sekali saja dalam seminggu. Abang yang biasanya ingin sekali dicium oleh saya, meski dari jauh, sejak saat itu hanya perduli pada kabar anak-anaknya saja. Dia tidak lagi berkata-kata mesra, atau sekedar menanyakan kabar saya. Mungkin setelah 10 tahun kami menikah, Abang sudah sedemikian terbiasannya dengan keberadaan saya, sehingga ia lupa. Lupa akan kemesraan yang seharusnya masih saya dapatkan. Lupa bahwa kata-kata mesranya masih membuat saya akan merasa istimewa sebagai teman hatinya.
Perubahan sikap Abang ini juga ditandai dengan keputusan Abang membatalkan rencana liburan musim dinginnya untuk pulang ke Indonesia.
Lulu menghentikan bacaan emailnya. Terbayang kembali bagaimana ia dan Isal menghabiskan liburan Musim Dingin mereka di Kauia dan Big Island. Ah, ada yang mengalir deras di hatinya, lalu dilanjutkannya membaca emailnya...
Sebagai istri, saya mempunyai firasat. Tapi bertanya pada Abang, sama saja bertanya pada pencuri. Dia tidak pernah mengakuinya, padahal saya sudah berjanji pada diri saya, akan menerimanya dengan kemungkinan yang terburuk. Abang adalah ayah dari dua anak kami, dan itu tidak mungkin berubah.
Akhirnya, saya memberanikan diri mengirim email ke beberapa teman di Hawaii. Meski melalui kesabaran, akhirnya Dina dan Sani bersedia menceritakan apa yang terjadi. Jangan salah paham, mereka sama sekali tidak menjelekkan Dek Lulu. Mereka hanya mengkonfirmasi bahwa Abang memang sedang dekat dengan seorang wanita. Dan itu sudah cukup buat saya. Saya kemudian meminta Mas Sani dan Uni Dina berbicara kepada Abang, mengingatkannya tentang keluarga yang ia tinggalkan di Indonesia. Saya pun meminta mereka berdua untuk berbicara dengan Dek Lulu.
Sejak petama kali saya mengetahui hubungan kalian, saya sudah sering berkorespondensi dengan beberapa teman di Honolulu. Jangan menganggap mereka dengan mudah memberitakan hal ini kepada saya. Berkali-kali email saya tidak dibalas, atau dibalas hanya dengan sebuah pesan ringan. Saya tidak putus asa. Saya tahu mereka tidak ingin ikut campur dengan urusan orang lain.
Dan belum sempat diakhirinya email itu, Lulu pun tak kuasa menahan emosinya. Semua berputar kembali di benaknya, ucapan-ucapan Isal, sikap Isal yang aneh di hari itu, kebersamaan mereka, Uni Dina, Teh Nisa, Sani yang berkali-kali mencoba memperingatinya. Penyerahan dirinya, cintanya, semuanya. Terbayang foto mesra mereka berdua yang sengaja Lulu frame lalu ia masukan ke luggage Isal, sebagai kejutan. Juga, sebuah diari yang mengungkapkan seluruh perasaannya sejak pertama kali bertemu, sebagai kejutan lainnya. Teringat dengan jelas tentang keragu-raguannya, tentang omongan rekan-rekan PERMIAS yang pernah ia dengar tentang status Isal, bukan Lulu tidak punya dugaan terhadap status Isal selama ini, tapi dia tidak sanggup bertanya. Pun, Isal benar-benar menutup rapat sisi pribadinya ini dan selalu mampu meredam keingintahuannya. Tidak ada ruang bagi Lulu untuk mengetahui lebih jauh tentang siapa Isal. Semua teredam dengan segala pesona Isal, sehingga ia sedemikian terbutakan.
Tiba-tiba, dada Lulu terasa sesak, matanya hanya sanggup terpejam, dia tidak sanggup menatap matahari esok pagi, mungkin dunianya harus selesai di sini, entahlah….
Eindhoven, July 14-15, 2009
Summer with Mas at NL.
No comments:
Post a Comment